Pada saat itu kami mengaturnya dengan program kalender Namun baru delapan bulan, kami sudah merasa ingin punya anak.
Makanya setelah delapan bulan itu kami tidak patuh lagi pada sistem kalender.
Main terjang saja.
Setelah menunggu sebulan, dua bulan ...kok belum terlihat pula tanda-tanda ke hamilan.
Akhirnya untuk pertama kali, setelah 10 bulan menikah, kami berkonsultasi pada dokter ahli kandungan.
Saat itu, karena kantor saya di Gedung BBD - Jalan Diponegoro (saya saat itu sebagai manajer di sebuah perusahaan asuransi) sayá menyeberang jalan ke Klinik Pancawarga, berkonsultasi pad dokter Trijatmo Rachimadi, ahli kandungan.
Hasil pemeriksaan dokter menuniukkan suami saya se melakukan peniupan dengan air ke dalam saluranturs hat, an saluran telur saya menyempit.
Sebagai terapi, dokter menjalani terapi ini terasa nyeri sekali di perut bagian karena tidak dibius.
Dia memberi saya obat-obatan penyubur.
Toh 6 bulan berlalu, belum juga menunjukkan hasil; kami (khususnya saya) mulai gelisah.
Selanjutnya dokter menyarankan saya memeriksakan kemungkinan adanya endometriosis (berkembangnya sel darah dari rahim yang tak terkendali dalam rongga perut) Saya ngeri membayangkan operasi.
lya kalau memang saya menderita en- dometriosis, kalau tidak, kan itu artinya Para kerabat tak pernah baru coba-coba, sementara perut saya bertanya, sudah punya sudah terlanjur dibuka.
Saya berbicara panjang lebar dengan suami namun dia rumah di mana, mobil keberatan.
Akhirnya saya menghindar,berapa, tetapi selalu tidak kembali lagi ke sana.
dengan pertanyaan Sementara itu pertanyaan mulai berdatangan dari berbagai penjuru, "anak sudah berapa, orang tua, kerabat, teman-teman, kenapasekolah di mana." saya belum hamil juga.
Terlebih-lebih bila kami pulang ke Bali.
Setahun, minimal sekali, kami selalu pulang menjenguk or- ang tua dan kerabat di 'kampung' saya Puri Agung Kendran, Gianyar dan mertua di Puri Anyar Klungkung serta mengikuti upacara-upacara adat dan keagamaan.
Khususnya dalam keluarga kami yang masih dilihat masyarakat setempat sebagai keluarga bangsawan.
Anak adalah simbol.
Anak adalah pewaris tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sehingga kehadirannya sangat ditunggu-tunggu Pertanyaan-pertanyaan ini bagaikan 59 Pengobatan alternalif teror buat saya.
Emangnya membuat anak segampang bikin ku begitu pikir saya dengan sewot.
Untung suami selalu bisa menyabarkan saya sampai terpikir lebih baik tak pulang ke Bali agar terhindar da teror' ini.
Tetapi, saya selalu tersinggung bila ditanya soal anak sampai "Jangan dipikir terlalu dalam.
Kalau kita belum diberi itu kan bukan kemauan kita," begitu lagi-lagi Mas Tjok berhasil mendinginkan hati saya.
Begitu banyak anjuran saudara, keraba untuk berobat ke sana-sini akhirnya kami jalani juga berkonsultasi pada ahli urut, pijat refleksi (dipijat hanya di bagian telapak kak), sinshe (ahli obat tradisional Cina), rohaniawan, balian (semacam paranormal) di tanah kelahiran saya maupun di Jakarta.
Makanya setelah delapan bulan itu kami tidak patuh lagi pada sistem kalender.
Main terjang saja.
Setelah menunggu sebulan, dua bulan ...kok belum terlihat pula tanda-tanda ke hamilan.
Akhirnya untuk pertama kali, setelah 10 bulan menikah, kami berkonsultasi pada dokter ahli kandungan.
Saat itu, karena kantor saya di Gedung BBD - Jalan Diponegoro (saya saat itu sebagai manajer di sebuah perusahaan asuransi) sayá menyeberang jalan ke Klinik Pancawarga, berkonsultasi pad dokter Trijatmo Rachimadi, ahli kandungan.
Hasil pemeriksaan dokter menuniukkan suami saya se melakukan peniupan dengan air ke dalam saluranturs hat, an saluran telur saya menyempit.
Sebagai terapi, dokter menjalani terapi ini terasa nyeri sekali di perut bagian karena tidak dibius.
Bagi masyarakat kami, anak adalah penerus kehidupan
Bawah meditasi Setelah terapi ini, saya rutin berkonsultasi kepada Dokter Tri.Dia memberi saya obat-obatan penyubur.
Toh 6 bulan berlalu, belum juga menunjukkan hasil; kami (khususnya saya) mulai gelisah.
Selanjutnya dokter menyarankan saya memeriksakan kemungkinan adanya endometriosis (berkembangnya sel darah dari rahim yang tak terkendali dalam rongga perut) Saya ngeri membayangkan operasi.
lya kalau memang saya menderita en- dometriosis, kalau tidak, kan itu artinya Para kerabat tak pernah baru coba-coba, sementara perut saya bertanya, sudah punya sudah terlanjur dibuka.
Saya berbicara panjang lebar dengan suami namun dia rumah di mana, mobil keberatan.
Akhirnya saya menghindar,berapa, tetapi selalu tidak kembali lagi ke sana.
dengan pertanyaan Sementara itu pertanyaan mulai berdatangan dari berbagai penjuru, "anak sudah berapa, orang tua, kerabat, teman-teman, kenapasekolah di mana." saya belum hamil juga.
Terlebih-lebih bila kami pulang ke Bali.
Setahun, minimal sekali, kami selalu pulang menjenguk or- ang tua dan kerabat di 'kampung' saya Puri Agung Kendran, Gianyar dan mertua di Puri Anyar Klungkung serta mengikuti upacara-upacara adat dan keagamaan.
Bagi masyarakat kami, anak adalah penerus kehidupan
Bagi masyarakat kami, anak adalah penerus kehidupan.Khususnya dalam keluarga kami yang masih dilihat masyarakat setempat sebagai keluarga bangsawan.
Anak adalah simbol.
Anak adalah pewaris tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sehingga kehadirannya sangat ditunggu-tunggu Pertanyaan-pertanyaan ini bagaikan 59 Pengobatan alternalif teror buat saya.
Emangnya membuat anak segampang bikin ku begitu pikir saya dengan sewot.
Untung suami selalu bisa menyabarkan saya sampai terpikir lebih baik tak pulang ke Bali agar terhindar da teror' ini.
Tetapi, saya selalu tersinggung bila ditanya soal anak sampai "Jangan dipikir terlalu dalam.
Kalau kita belum diberi itu kan bukan kemauan kita," begitu lagi-lagi Mas Tjok berhasil mendinginkan hati saya.
Begitu banyak anjuran saudara, keraba untuk berobat ke sana-sini akhirnya kami jalani juga berkonsultasi pada ahli urut, pijat refleksi (dipijat hanya di bagian telapak kak), sinshe (ahli obat tradisional Cina), rohaniawan, balian (semacam paranormal) di tanah kelahiran saya maupun di Jakarta.
Comments
Post a Comment